Friday, September 7, 2018

LKPP: Perlunya Antisipasi Sengketa Hukum di PBJP

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengadakan kegiatan yang berkoordinasi dengan seluruh Biro hukum dari kementerian/lembaga/perangkat daerah (K/L/PD) di Indonesia, dalam rangka meningkatkan kapasitas stakeholder pengadaan barang/jasa pemerintah terkait sejumlah masalah yang berkaitan dengan hukum dan penanganannya.

Ikak Patriastomo, selaku Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP, menekankan pentingnya pendampingan yang harus diberikan oleh Biro Hukum kepada setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di K/L/PD, baik sejak awal proses perencanaan hingga memperoleh barang/jasa. Menurut Ikak, antisipasi sejumlah persoalan sengeketa hukum, misalnya permasalahan kontrak, perlu dilakukan, karena setiap PPK atau Pokja/ULP/PP belum tentu memiliki pengetahuan hukum yang mumpuni.

Direktur Advokasi dan Penyelesaian Sanggah Wilayah II, M. Aris Supriyanto memaparkan mengenai perubahan mengenai rancangan kontrak. Ada perubahan mendasar mengenai kontrak di Perpres 54/2010 dan Perpres 16/2018.

Jika di Perpres 54/2010, kontrak Pengadaan Barang/jasa dibagi dalam  Kontrak berdasarkan cara pembayaran, pembebanan Tahun Anggaran, sumber pendanaan dan jenis pekerjaa maka dalam perpres 16 tahun 2018, kontrak dibedakan atas Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang terbagi dalam kontrak Lumsum, Harga Satuan, Gabungan Lumsum dan Harga Satuan, Terima Jadi (Turnkey) dan Kontrak Payung. Sedangkan Jasa Konsultasi terbagi dalam Kontrak Lumsum, Waktu Penugasan (Time Based) dan Kontrak Payung.

Selain paparan mengenai kontrak, disampaikan juga sejumlah layanan program penanganan permasalahan hukum. Mulai dari Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Mahkamah Agung (MA) dan Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LPS-PBJP). LPS PBJP dibentuk LKPP berdasarkan amanat Pasal 85 ayat (2) dan Pasal 91 ayat (1) huruf x Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Selain itu, hadir pula mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum/Perumahan Rakyat (PUPR) , Siti Martini Prabowo, yang telah berpengalaman memberi bantuan hukum kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), baik yang masih aktif maupun yang telah purna bakti.

Siti menekankan bahwa ASN yang terlibat permasalahan hukum harus membuka diri mengenai kasus yang melibatkannya “Iya itu yang kadang terjadi, sering malu kepada pendamping, pembela, pengacara, kita harus terus terang apa adanya, kita harus tahu bagaimana menyikapi si pendamping ini. Jadi pendamping  ini ngerti track-track-nya bagaimana, kalau sudah terlanjur bagaimana cara menghadapinya.” ujar Siti.

Tak hanya itu ia juga menjelaskan perbedaan signifikan dari Peraturan Menteri dan Peraturan Presiden dalam mendampingi pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah yang terlibat kasus hukum. “Sebenarnya kita itu kalau membantu sesuai Permen (Peraturan Menteri), kami membantunya kalau pidana sampai penyelidikan saja. Tapi, alhamdulillah di Perpres 16/18, dikatakan  bahwa (bantuan) hukum dapat dilakukan sampai putusan. Kalau dulu kan ada conflict of interest, jadi kami tidak bisa memberikan bantuan hukum.”ungkap Siti.

Pada kegiatan yang sama, Mudjisantosa, Kepala Subdirektorat Penanganan Permasalahan Kontrak  menyampaikan bahwa penanganan dan respon yang efektif menjadi kunci keberhasilan pemenangan sengketa hukum PBJP. Setiap biro hukum harus membangun kompetensi, SOP (Standar Operasional Prosedur) kolaborasi dengan biro hukum lainnya, penjaminan anggaran serta menjaga integritas.

“Aplikasi sehebat apapun, peraturan sengketa apapun, kalau integritas tidak kita punyai, ya dipermasalahkan, di luar negeri sendiri tidak ada aturan detail, jadi kalau kita punya integritas untuk tidak diintervensi oleh atasan (kepala daerah atau siapapun), ya  sudah akan sulit terkena masalah hukum.” tutup Mudjisantoso (mg 1 /awh).

0 comments

Post a Comment

Pages