Wednesday, February 7, 2018

Urgensi Pengusutan Kasus Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Melalui Tindak Pidana Pencucian Uang dan Kejahatan Korporasi

Penegakan hukum atas tindak kejahatan korupsi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa perlu dilakukan secara tuntas melalui pengusutan di ranah tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana kejahatan korporasi. Pengembangan proses peradilan oleh aparat penegak hukum  ini diyakini dapat menjerat lebih banyak pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi, khususnya di ranah pengadaan barang dan jasa.

Kepala LKPP Agus Prabowo mengungkapkan bahwa aparat penegak hukum dan masyarakat saat ini memang tengah menyoroti pelaksanaan pengadaan sebagai salah satu sektor yang diduga rawan terjadi korupsi. Sayangnya, upaya hukum yang tengah gencar dilakukan APH saat ini kebanyakan hanya membidik kasus-kasus tindak pidana korupsi saja. Padahal, ungkap Agus, pengembangan proses penegakan hukum pada ranah lain, seperti TPPU dan TPKK, sangat diperlukan untuk mengusut pelaku kejahatan ini sampai ke akar-akarnya.

“Ya, kalau hanya korupsinya saja yang divonis, koruptornya tuh masih muncul jadi selebriti. Jadi, hukumnya ini tidak berwibawa,” kata Agus saat membuka seminar bertajuk “Tindak Pidana Pencucian Uang dan Kejahatan Korporasi dalam Kasus Pengadaan Barang/Jasa”, Selasa, (23/01),  di kantor LKPP.

Mengutip data yang dirilis KPK, Agus menyebut sejak 2004 hingga 2017 KPK telah menangani kasus korupsi sebanyak 685 kasus. Dari keseluruhan kasus tersebut, hanya sebesar 3,21% yang diusut dengan tindak pidana pencucian uang.

Sementara itu, data yang dikumpulkan LKPP menunjukkan bahwa dari 460 laporan kasus yang masuk ke LKPP selama 2017, hanya 5 kasus yang diproses sebagai tindak pidana pencucian uang. Nahasnya lagi, tidak ada satu pun dari seluruh laporan kasus itu yang diproses di ranah  tindak pidana kejahatan korporasi.

Padahal, lanjutnya, pengusutan TPPU dalam kasus korupsi sering kali memberikan titik terang dalam mengungkap kejahatan korporasi. Jika kedua pengembangan penegakan hukum ini betul-betul dilaksanakan, ia meyakini ini akan meningkatkan potensi pengembalian kerugian negara.

“Jadi, bisa menambah pengembalian kerugian negara jika aparat hukum dapat mengembangkan kasus koruspsi di pengadaan ini ke arah TPPU dan TPKK,” ujarnya.

Dalam konteks pengadaan pemerintah, Agus menyebut ada pergeseran modus-modus korupsi dalam proses perencanaan. Sebelumnya, praktik korupsi dalam proses perencanaan pengadaan cenderung dilakukan dengan merencanakan pembangunan infrastruktur yang bukan menjadi prioritas. Sementara itu, rencana jahat melakukan korupsi dewasa ini justru sering kali telah dilakukan sejak pembahasan di tingkat legislatif. 

Adapun “area” perencanaan, perizinan, dan pelaksanaan pengadaan, menurut Agus, menjadi titik rawan terjadinya korupsi. “Dan ke depan akan harus kita siasati dua area baru. Area yang pertama itu (penyeluran dan realisasi) dana desa [...]dan yang kedua adalah proyek proyek strategis nasional,” imbuh Agus.



Meski pemerintah terus mendorong transparansi perencanaan pengadaan untuk memperkecil peluang korupsi, nyatanya saat ini masih banyak instansi yang tidak mengumumkan rencana umum pengadaan secara menyeluruh ke dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan.  Menurut Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Setya Budi Arijanta, K/L/D/I berkecenderungan hanya mengumumkan 60% dari total keseluruhan alokasi anggaran. Artinya, sebanyak 40% anggaran ditengarai tidak ikut terakumulasi dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan (SiRUP).

Setya menambahkan, permasalahan lain yang terindikasi menjadi celah korupsi dalam perencanaan pengadaan adalah masih banyaknya pemecahan paket-paket lelang yang tidak memenuhi kriteria. Setya mengkhawatirkan praktik-praktik seperti  ini akan semakin banyak menjelang tahun politik.

”Dan modusnya ini dibikin paket dua ratus, dua ratus, dua ratus, dua ratus juta semua supaya nggak lelang,” ungkap Setya.

Setya menyayangkan masih lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pasalnya, dengan pemrosesan hukum yang sebatas di ranah tindak pidana korupsi, potensi pengembalian kerugian negara diprediksi hanya sebesar 30%. Hal ini, lanjut Setya, karena pelaku korupsi berkecenderungan melarikan hasil kejahatannya dengan modus pencucian uang dan kejahatan korupsi.   

”Karena kalau korupsi (kecenderungannya) itu pada dilarikan ke korporasi—sekarang ini modusnya—sehingga keluar dari penjara koruptornya masih senyam-senyum. Lah wong masih kaya,” kata Setya.

Di sisi lain, pengusutan kasus kejahatan korupsi dari sisi pihak penyedia saat ini kebanyakan memang hanya ditujukan kepada pimpinan perusahaan utama saja, sedangkan pimpinan perusahaan rekanan yang terlibat tidak ”tersentuh” aparat penegak hukum. Bahkan, ungkap Setya, ada juga praktik penegakan hukum  yang menyeret korporasi, tetapi tidak menyeret otak pelakunya. Ketidaktuntasan penegakan hukum ini dikhawatirkan dapat memunculkan kasus-kasus serupa oleh pelaku yang sama. Pasalnya, otak kejahatan TPPU dan TPKK ini dapat melakukan praktik kejahatan yang sama dengan modus mendirikan perusahaan baru.

”Jengkel saya, karena (mereka) nggak dijadikan terdakwa. Tuman, Pak. Awalnya sih korupsinya 10 miliar nanti naik jadi 1 triliun,” pungkasnya. (eng)

0 comments

Post a Comment

Pages