Tuesday, November 7, 2017

Urgensi Integrasi Sistem, Ketersediaan Data, dan Keterbukaan Informasi pada Sektor Jasa Konstruksi

Pemberlakuan iklim usaha pengadaan yang transparan, khususnya di sektor jasa konstruksi, masih terkendala sistem dan data yang belum terintegrasi serta penerapan keterbukaan informasi yang belum sepenuhnya ideal. Permasalahan ini berdampak langsung terhadap pelaksanaan proses bisnis  pengadaan yang notabene membutuhkan keandalan sistem dan dukungan data yang valid.

Diakui Gusmelinda Rahmi, Direktur Pengembangan Iklim Usaha  dan Kerja Sama Internasional LKPP,  bahwa data yang dimiliki setiap instansi saat ini berkecenderungan masih digunakan secara terbatas. Meski usaha integrasi data beberapa kali sudah diusahakan, kompatibilitas antarsistem yang tidak fleksibel faktanya masih menjadi kendala dalam merealisasikan penggabungan data ini.

Dalam mendorong implementasi data vendor manajemen yang terintegrasi, LKPP misalnya bahkan telah menjajaki kerja sama dengan beberapa instansi, seperti Kemendagri, Dirjen Pajak, dan Pemeringkat Efek Indonesia  untuk menggabungkan dan menyelaraskan data penyedia. Sayangnya, sampai saat ini hal itu belum juga terealisasi. 

”Datanya ada, tapi tidak pernah terintegrasi. Pada saat data itu (atau) sistem itu ada—kami minta dia bicara sesama sistem—dia tidak bisa bicara (sulit diintegrasikan-red) satu sistem dengan sistem yang lain. Jadi harus diolah lagi,” ujar Linda saat menjadi pemateri dalam seminar bertajuk ”Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sektor Konstruksi dalam Perluasan Kesempatan Usaha di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah", Selasa (31/10), di Jakarta. 

Di sisi lain, Linda menyadari bahwa beberapa instansi memang masih memiliki ego sektoral dalam pemanfaatan data. Pasalnya, meski data bersifat terbuka dan dapat diakses secara luas, penjajakan soal pengintegrasian data antarinstansi pada kenyataannya masih menemui jalan buntu. Permasalahan ini, menurutnya, semakin kompleks dengan rendahkan tingkat kepercayaan dalam pelaksanaan birokrasi dan fungsi-fungsi administrasi.

”Selama ini--kita antar satu lembaga dengan lembaga yang lain—itu tidak saling memercayai. Pada saat, misalnya, ada yang menerbitkan SIUP; pernahkah kita mengatakan bahwa ’oh, ya sudah saya percaya dengan (bukti) SIUP-nya’?”

”Jadi memang kesadaran—seperti  kata Pak Khrisna tadi—kesadaran bahwa data itu milik siapa, data mana yang bisa dibuka, dan sebagainya itu memang belum bagus,” lanjut Linda.

Pada kegiatan seminar itu, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Khrisna S Pribadi sebelumnya pun mengungkapkan bahwa pemerintah perlu memastikan pelaksanaan pengadaan dilaksanakan secara transparan pada seluruh tahapan.  Hal ini, menurut Khrisna, untuk menjamin terbentuknya iklim usaha dan peluang kompetisi yang sama bagi semua pelaku usaha, di samping menekan potensi terjadinya penyelewengan pengadaan.

Pemerintah pun, lanjut Khrisna, sebetulnya telah menerbitkan peraturan yang cukup untuk mengakomodasi terciptanya keterbukaan informasi dan data. Hanya saja, praktik yang terjadi di lapangan justru menunjukkan kondisi yang belum ideal, misalnya masih sulitnya akses terhadap data pemerintah. 

Lalu sudah sejauh mana keterbukaan informasi, khususnya di sektor pengadaan jasa konstruksi pemerintah? Dengan membandingkan parameter yang digunakan pada metodologi berbasis Construction Sector Transparency (CoST), ujar Khrisna melanjutkan, tingkat kepatuhan dalam hal keterbukaan informasi pengadaan jasa konstruksi di Indonesia hanya memperoleh skor sekitar 24% dari skala 100.

Bahkan, jika lebih diperinci lagi, keterbukaan informasi pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi di Indonesia yang sudah ideal hanya ditemukan pada beberapa variabel parameter saja, seperti informasi nomenklatur,  lokasi kegiatan, periode pelaksanaan, pemilik kegiatan, dan nomor referensi. Padahal, ada total 41 parameter yang mendukung keterbukaan informasi yang baik.

“Nah, (keterbukaan informasi pengadaan pada sektor jasa konstruksi) Indonesia—dari kajian kami—itu baru 24% compliance terhadap persyaratan minimum ini. Jadi, beberapa yang compliance yang dicentang ini, tapi umumnya informasi yang diberikan itu masih general,” terang Khrisna.

Linda pun berharap sektor jasa konstruksi nantinya dapat didukung dengan ketersediaan data dan sistem yang baik, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan sistem manajemen penyedia. Dengan ketersediaan sistem yang andal itu pula,  pelaksanaan proses bisnis pengadaan jasa konstruksi di lingkungan pemerintah pun dapat disederhanakan seminimal mungkin sehingga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta tidak berfokus pada hal-hal yang bersifat administratif. 

“Kami berharap suatu saat nanti kualifikasi itu tidak administrasi dan tidak mengkualifikasikan hal hal yang bersifat administrasi, tapi kualifikasi itu adalah dia (pelaku usaha-red) qualified untuk mengerjakan pekerjaan itu. Bukan administrasinya, tapi adalah kompetensinya,” pungkas Linda.

0 comments

Post a Comment

Pages